Senin, 03 Mei 2010

Perkembangan Ilmu Qira’at, Masa Pentadwinan (pembukuan), Sejarah Perkembangan Ilmu Qira’at di Indonesia, macam-macam qira’at, hukum dan kaidahnya

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu qira’at adalah termasuk bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ân atau ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang membahas tentang kaedah membaca al-Qur-an. Ilmu ini disandarkan kepada masing-masing imam periwayat dan pengembangnya yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Cara pengambilan ilmu ini adalah secara talaqqi yakni berhadapan langsung antara guru dan murid dengan memperhatikan bentuk mulut, lidah, dan bibir guru dalam melafazkan ayat-ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu, Khalifah Utsmân ketika mengirimkan mushaf ke beberapa wilayah, disertakan pula seorang qâri’ yang qira’atnya sesuai dengan mushaf yang dikirimkannya itu. Mereka terdiri dari sahabat-sahabat yang tahu bagaimana Rasulullah saw. membaca al-Qur’an. Di antara para sahabat itu ada yang menerima dari Nabi hanya satu bacaan saja, ada pula yang menerima dua bacaan, tiga bacaan, dan bahkan ada yang menerima lebih dari itu dan kemudian mereka mengajarkannya kepada orang-orang yang belajar. Maka wajarlah jika timbul perbedaan qira’at pada generasi tabi’in dan generasi penerusnya.
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in, muncullah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Para ahli qira’at tersebut antara lain adalah Nâfi’ bin ‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin Katsîr, Hamzah, al-Kisâ’î, dan lain-lain.
Dari masa ke masa, ilmu qira’at semakin maju sejajar dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang dalam dunia Islam pada saat itu. Ilmu yang asalnya hanya dipelajari dan diterima dari mulut ke mulut mulai dibukukan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dalam makalah ini akan dibahas tentang perkembangan ilmu qira’at, masa pentadwinan (pembukuan), sejarah perkembangan ilmu qira’at di Indonesia, macam-macam qira’at, hukum dan kaidahnya, serta nama-nama kitab qira’at.






























BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunya al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa Qiraat memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase, yaitu:
Fase Pertama: masa pertumbuhan
Fase pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana Nabi mengajarkan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka. Dengan demikian, para sahabat mendapatkan bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan bacaan yang beragam. Seringkali dengan ragam bacaan yang mereka terima, menimbulkan perselisihan diantara para sahabat, lalu Nabi menyelesaikan perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan dengan berbagai macam versi bacaan.
Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at
Fase kedua ini terjadi setelah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat dan tabi’in. Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan bermukim di Mekah atau Madinah. Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan dinamika da’wah para sahabat terpanggil untuk menyebarkan islam ke berbagai pelosok negeri. Ada sahabat yang pergi ke negeri Basrah seperti Abu Mûsâ Al Asy’ary. Ada yang ke Kufah seperti Ibnu Mas’ûd. Ada yang pergi ke Syam seperti Abû Darda’, dan lain sebagainya. Para sahabat tersebut mengajarkan al-Qur’an kepada para tabi’in sesuai dengan bacaan yang mereka terima dari Nabi.
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli Qira’at
Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar akhir abad pertama sampai awal abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at berlangsung sedemikian lama, maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90 H) yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis qira’at.
Tiga fase di atas telah di bahas pada makalah sebelumnya (Qira’at pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in).
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
1. ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3. Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
4. Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
5. Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
6. Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
7. Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
8. ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
9. ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
10. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
11. Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.
Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at Sab’ah
Pada peringkat awal pembukuan ilmu qira’ at yang dirintis oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di atas, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qira’at yang banyak ke dalam karangan-karangannya. Barulah pada permulaan abad kedua Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan beberapa imam yang mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154 H) dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156 H) dan ‘Âsim (w. 127 H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di Mekah mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w. 120 H), dan di Madinah memilih qira’at Nâfi’ (w. 199 H).
Di penghujung abad ketiga Hijrah, barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at tersebut di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H), salah seorang ahli qira’at dari Kufah, dan membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’ tersebut. Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul sebutan Qira’at Sab’ah.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qira’at saja yang masyhur padahal masih banyak imam-imam qira’at lain yang kedudukannya setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qira’at mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qira’at yang sesuai dengan khat mushaf yang mudah dihafal dan mudah menurut bacaan al-Qur’an. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa di antara ahli qira’at itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qira’at dan adanya kesepakatan untuk diambil serta dikembangkan qira’atnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam, tanpa mengabaikan periwayat selain tujuh imam qira’at tersebut, seperti qira’at Ya’qûb, Abû Ja’far, Syaibah dan lain-lain.
Kehadiran istilah Qira’at Sab’ah telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama. Para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa qira’at sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibn Khawalaih, Ibn Zanjalah, Makki Ibn Abi Tâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.

Fase keenam: Fase Pengukuhan Qira’at Sab’ah
Fase ini berlangsung setelah kemunculan kitab Al-Sab’ah karya Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting dalam sejarah penulisan ilmu qira’at. Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan ilmu qira’at pada masa sebelum Ibn Mujahid bisa dikatakan tidak selektif tapi lebih kepada penulisan qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru mereka. Karena itu ulama yang pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya imam tujuh tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu tercantum dalam kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah Qira’at Sab’ah menjadi semakin kokoh dan masyhur dengan munculnya kitab At Taisir karya Abû ‘Amr al-Dâni (w. 444 H). Yang menonjol dari kitab ini adalah penyederhanaan rawi dari setiap imam dengan hanya dua perawi, padahal sebagaimana di ketahui bahwa perawi setiap imam biasanya berjumlah puluhan bahkan ratusan.
Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2. Qumbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn Katsîr
3. Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn ‘Âmir
5. Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim
6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Penyederhanaan rawi ini sangat bermanfaat untuk memudahkan mempelajari ilmu qira’at , apalagi para perawi yang terpilih telah di akui kredibilitasnya dalam bidang qira’at oleh para ulama sezamannya.
Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah kemunculan imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâtibiyyah”. Syair-syair Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâtibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazam al-Syâtibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâtibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazam ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu qira’at.

B. PERKEMBANGAN QIRAAT SAB’AH DI INDONESIA
Tidak di ketahui secara persis kapan qira’at sab’ah mulai masuk ke Indonesia. Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa qira’at sab’ah masuk ke Indonesia baru pada sekitar awal abad kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat di Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rasyid dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qiraat dari Hijaz. Kemudian sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira’at ini kepada murid-muridnya. Salah satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus, yang kemudian menyusun buku tentang qiraat sab’ah yaitu “Faid al-Barâkât fî Sab’i Qirâ’ât”. Buku ini telah masyhur di kalangan pesantren-pesantren Indonesia yang mempelajari Qira’at Sab’ah.
Kemudian para periode berikutnya , yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) dan IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) yang khusus mengajarkan ‘Ulumul Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu Qira’at , Ilmu Qira’at semakin masyhur di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya tanggal 2 Maret 1983 memutuskan bahwa:
1. Qiraat Sab’ah adalah sebagian ilmu dari ‘Ulumul Qur’an yang wajib di kembangkan dan di pertahankan eksistensinya.
2. Pembacaan Qira’at Tujuh di lalukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang berijazah (yang telah talaqqi dan musyâfahah dari ahli qira’at).
Pada periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira’at dalam bahasa Indonesia, yaitu “KAIDAH QIRAAT TUJUH” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan PTIQ, yaitu DR. H. Ahmad Fathoni. Kitab ini sangat membantu memudahkan masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab dalam belajar ilmu qira’at.
Ilmu qira’at semakin banyak diminati untuk dipelajari oleh masyarakat indonesia setelah pada tahun 2001 Menteri Agama Indonesia Prof.Dr. Said Aqil Al Munawwar membuat satu kebijakan yang baik dan strategis untuk memasyarakatkan ilmu qira’at dengan mengeluarkan SK yang mengikut sertakan cabang Qira’at dalam MTQ dan STQ di Indonesia. Maka pada STQN 2002 di Mataram cabang ini sudah mulai di lombakan. Dan terus berjalan sampai sekarang.

C. Macam-macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya
Ibn Mujâhid sebagai tokoh negara serta salah seorang pakar keagamaan memiliki pengaruh besar atas berlangsungnya keragaman bacaan. Ibn Mujâhid mencoba menetapkan standarisasi baru disahkannya sebuah qira’at. Kemudian lahirlah tujuh qira’at yang terbagi menjadi tujuh imam plus dua perawi di antara satu imam. Satu klaim bahwa bacaan sah adalah ajaran dari riwayat yang bersumber dari guru dengan persetujuan ulama-ulama lain serta memiliki kredibilitas (tsiqah) diakui. Konsep ini pada dasarnya menguatkan tiga syarat utama atau kaidah qira’at yang sahîh, yaitu :
1. Qira’at itu harus sahîh sanadnya, yaitu bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw.
2. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah Bahasa Arab. Syarat ini tidak berlaku sepenuhnya sebab ada sebagian bacaan yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun karena sanadnya sahîh dan mutawâtir maka qira’atnya dianggap sahîh.
3. Qira’at sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmâni yang dikirimkan ke daerah-daerah, karena ia mencakupi Sab’atu Ahruf.
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:
1. Mutawâtir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw. Para ulama maupun para ahli hukum Islam sepakat bahwa qira’at yang berkedudukan mutawâtir adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai qira’at al-Qur’an. Ia sah dibaca di dalam maupun di luar salat. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawâtir.
2. Masyhûr, yaitu qira’at yang sahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at dan tidak terdapat cacat. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at semacam ini boleh dipakai atau digunakan. Contoh qira’at masyhûr adalah qira’at yang dipopulerkan oleh Abû Ja’far bin Qa’qa’ dan Ya’qûb al-Hadrami, yaitu lafaz siqâyata dibaca suqâta dan lafaz ‘imârata dibaca ‘amarata, yang kedua bacaan ini terdapat dalam surat al-Tawbah ayat 19.
3. Âhâd, yaitu qira’at yang sahîh sanadnya tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira’at yang telah disebutkan. Qira’at semacam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abû Bakrah bahwa Nabi membaca rafârifa dan ‘abâqariya dalam surat al-Rahmân ayat 76.
4. Syâdz, yaitu qira’at yang tidak sahîh sanadnya, seperti qira’at malaka yaumaddîn (al-Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi’il mâdi dan menasabkan yauma.
5. Mawdû’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira’at imam Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâtir ayat 28:


Dia membaca dengan:


Yaitu dengan merafa’kan lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-‘Ulamâ’.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibn ‘Abbâs:



Kalimat adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.
Keempat macam qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Demikianlah uraian ringkas tentang macam-macam qira’at, sehingga dengan demilian seorang ahli qira’at di samping hafal bermacam-macam qira’at, dituntut juga agar mampu membuktikan kebenaran qira’atnya.

D. Nama-nama Kitab Qira’at dan Spesifikasinya
13. JAMÂL AL-QURRÂ’ WA KAMÂL AL-IQRA’
Nama Pengarang : Imam Abû Hasan ‘Alî bin Muhammad bin ‘Abdussomad al- Sakhowi ( 559 H- 643 H).
Beliau Adalah salah satu murid dari Imam Al-Syâtibi, dan merupakan orang pertama yang menulis kitab syarah Nazam Al-Syâtibi.
Ta’rif Kitab: Kitab ini membahas tentang semua aspek dalam ilmu Qira’at, termasuk juga membahas tentang ilmu al-Qur’an, Dalam penulisannya, penulis telah membaginya dalam sepuluh bab pembahasan. Di setiap pembahasan musonnif (pengarang/penulis) juga menyertakan para perawi yang beliau nukil, menyertakan perbedaan para ulama lalu mentarjih menurut pendapat beliau.
Kitab ini pertama kali di terbitkan oleh Al-Madâni di Mesir pada tahun 1408 H, terdiri atas dua jilid.

14. AL-MURSYID AL-WAJÎZ ILÂ ‘ULÛM TATA’ALAQ BI AL-KITÂB AL-‘AZÎZ
Nama Pengarang: ‘Abdurrahmân bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm Abû al-Qasim al-Miqdasy ( 599 H-665 H)
Beliau adalah murid Imam al-Sakhawi. Beliau telah banyak mengarang buku tentang ilmu keislaman, termasuk syarah nazam al-Syâtibiyyah yaitu kitab yang cukup masyhur (Ibraz Al-Maani min Hirz al-Amâni fî al-Qirâ’ât al-Sab’), juga dikenal sebagai ulama besar dalam bidang hadis.
Ta’rif Kitab: Sebagaimana yang musannif tuliskan dalam muqaddimah kitab ini, beliau mengatakan bahwa kitab ini sangat bermanfaaat bagi ahlul Qur’an, terutama bagi yang ingin mendalami qira’at sab’ah. Penyebutan nama Qira’at Sab’ah bukanlah yang di maksud dengan hadis Rasulullah :
انزل القران على سبعة احرف
tetapi di maksudkan untuk memberi batasan antara qira’at yang mutawâtir dan Syâdz. Kitab ini membahas tentang kaidah-kaidah ilmu qira’at secara rinci.
Kitab ini pertama kali di terbitkan oleh Dâr Sâdir di Beirut tahun 1395 H.

15. MA’RIFAH AL-QURRÂ’ AL-KUBAR ‘ALÂ THABAQAT WA AL-‘ASAR
Nama pengarang: Muhammad bin Ahmad bin Utsmân Abû ‘Abdillâh al-Zahabi (673 H- 740 H)
Beliau adalah seorang ulama besar yang sangat alim dalam bidang ilmu al-Qur’an dan juga ilmu rijâl al-Hadîts. Maka pantaslah jika para ulama memberi gelar beliau dengan sebutan Al-Hâfiz Ustâdz Tsiqah Kabîr. Dalam bidang ilmu qira’at beliau telah mengarang dua kitab yaitu Al-Talwijat fî ‘Ilm al-Qira’at dan Ma’rifah Al Qurrâ’.
Ta’rif Kitab: Kitab ini di susun oleh musannif berdasarkan tabaqat, mulai dari Tabaqat Sahabat sampai tabaqat perawi pada masanya, yang terdiri dari 18 tabaqat.
Kitab ini di cetak pertama kali di Kairo pada tahun 1967 M.

16. GHÂYAH AL-NIHÂYAH FÎ TABAQAH AL-QURRÂ’
Nama Pengarang: Syams al-Dîn Abû al-Khair Muhammad bin Muhammad bin Al Jazary (751 H-833 H)
Beliau adalah seorang ulama besar dalam bidang qira’at pada zamannya.
Ta’rif Kitab: Kitab ini di susun berdasarkan Tabaqat dan merupakan kumpulan dari dua kitab Al-Hâfiz Abû ‘Amr al-Dâni serta Abû ‘Abdillah al-Zahabi, dan menambahka pembahasan yang sekiranya perlu.
Dalam penulisannya, musannif memakai rumus-rumus untuk mengetahui darimana pembahasan itu beliau nukil. Rumus-Rumus itu adalah: Jika di peroleh dari Kitab Al-Nasr maka memakai rumus ( ن ), Al-Taisir dengan ( ت ), Jami’ Al-Bayân Li al-Dâni dengan (ج), Al-Kâmil Li Al-Hazly memakai rumus (ك ), Al-Mabhaj dengan rumus( مب), Al-Mustanir dengan ( س), Al-Kifâyah al-Kubrâ Li al-Qalanisi dengan( ف ), Al-Ghâyah Li Abî al-‘Ala ( غ ), dan untuk jama’ah maka memakai rumus ( ع ).
Kitab ini di cetak pertama kali pada tahun 1351 H.

17. TAYYIBAH Al-NASYR FÎ AL-QIRÂ’ÂT AL-‘ASYR
Nama pengarang: Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Jazary (751 H- 833 H ).
Ta’rif Kitab: kitab ini di tulis dengan nazam (syair-syair), yang konsentrasi pada qira’at sepuluh, terdiri dari 1000 bait syair. Al-Syâtibi dan kitab Al-Taisir merupakan kitab rujukan utama dalam penulisan kitab yang berisi nazam ini. Kemudian musannif menambahkan turuq dan perawi perawi qira’at. Nazam ini telah di syarah oleh Abû Al-Qasi Al-Nauyary, dan kitab syarahnya di cetak pertama kali pada tahun 1406 H.

18. Kitab Latâ’if al-Isyârât Lifunûn al-Qirâ’ât
Nama pengarang: Al-Hâfiz Syihâb al-Dîn Abû al-‘Abbâs Ahmad bin Muhammad bin Abî Bakar bin ‘Abd al-Malik bin Ahmad bin Muhammad bin Husain bin ‘Alî al-Qistalânî al-Misrî (851 H-923 H).


BAB III
PENUTUP

Sejarah mencatat bahwa Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm, Abû Ja’far al-Tabari dan Ismâ-îl al-Qâdi adalah termasuk di antara para ulama qira’at yang mula-mula merintis pembukuan Ilmu Qira’at al-Qur’an. Melalui pembukuan tersebut, para ulama qira’at berikutnya dapat membuat kajian ilmu qira’at lebih jauh lagi. Di antara mereka ada yang menyusunnya dalam bentuk prosa dan ada pula yang berbentuk syair agar mudah dihafal. Ulama yang terlibat langsung dalam usaha tersebut di antaranya ialah imam al-Dâni dan al-Syâtibi.
Pada masa ini, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Baru di penghujung abad ketiga Hijrah, Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at, yakni Nâfi, Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Ibn ‘Âmir, ‘Âsim, Hamzah, dan al-Kisâ’i.
Ada tiga syarat utama tentang penerimaan qira’at, yaitu: bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw., sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu rasam Utsmâni. Dengan demikian maka muncullah macam-macam qira’at, yang terdiri dari qira’at mutawâtir, masyhur, âhâd, syâdz, mawdû’ dan mudraj. Untuk empat macam qira’at yang disebutkan terakhir, tidak boleh diamalkan bacaannya.









DAFTAR PUSTAKA


Fathoni, Ahmad, DR. H. Kaidah Qira’at Tujuh. Jakarta: ISIQ, 1992.

Ismâ’îl, Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli, DR. ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Atwâruhu, Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah. Riyâd: Maktabah al-Tawbah, 2000.

Al-Khayyât, Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris. Al-Tabsirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.

Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret 2002.

Masyhuri, Ismail, Al-Hafiz. Ilmu Qira’atul Qur’an: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh. Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.

Al-Qattân, Mannâ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Drs. Mudzakir AS, cet. V. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2000.

Al-Rûmi, Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân. Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet. XIII. Riyâd: T.pn., 2004.

Al-Siddieqy, T. M. Hasby. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Al-Suyûtî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar