Senin, 03 Mei 2010

Perkembangan Ilmu Qira’at, Masa Pentadwinan (pembukuan), Sejarah Perkembangan Ilmu Qira’at di Indonesia, macam-macam qira’at, hukum dan kaidahnya

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu qira’at adalah termasuk bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ân atau ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang membahas tentang kaedah membaca al-Qur-an. Ilmu ini disandarkan kepada masing-masing imam periwayat dan pengembangnya yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Cara pengambilan ilmu ini adalah secara talaqqi yakni berhadapan langsung antara guru dan murid dengan memperhatikan bentuk mulut, lidah, dan bibir guru dalam melafazkan ayat-ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu, Khalifah Utsmân ketika mengirimkan mushaf ke beberapa wilayah, disertakan pula seorang qâri’ yang qira’atnya sesuai dengan mushaf yang dikirimkannya itu. Mereka terdiri dari sahabat-sahabat yang tahu bagaimana Rasulullah saw. membaca al-Qur’an. Di antara para sahabat itu ada yang menerima dari Nabi hanya satu bacaan saja, ada pula yang menerima dua bacaan, tiga bacaan, dan bahkan ada yang menerima lebih dari itu dan kemudian mereka mengajarkannya kepada orang-orang yang belajar. Maka wajarlah jika timbul perbedaan qira’at pada generasi tabi’in dan generasi penerusnya.
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in, muncullah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Para ahli qira’at tersebut antara lain adalah Nâfi’ bin ‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin Katsîr, Hamzah, al-Kisâ’î, dan lain-lain.
Dari masa ke masa, ilmu qira’at semakin maju sejajar dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang dalam dunia Islam pada saat itu. Ilmu yang asalnya hanya dipelajari dan diterima dari mulut ke mulut mulai dibukukan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dalam makalah ini akan dibahas tentang perkembangan ilmu qira’at, masa pentadwinan (pembukuan), sejarah perkembangan ilmu qira’at di Indonesia, macam-macam qira’at, hukum dan kaidahnya, serta nama-nama kitab qira’at.






























BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunya al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa Qiraat memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase, yaitu:
Fase Pertama: masa pertumbuhan
Fase pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana Nabi mengajarkan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka. Dengan demikian, para sahabat mendapatkan bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan bacaan yang beragam. Seringkali dengan ragam bacaan yang mereka terima, menimbulkan perselisihan diantara para sahabat, lalu Nabi menyelesaikan perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan dengan berbagai macam versi bacaan.
Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at
Fase kedua ini terjadi setelah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat dan tabi’in. Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan bermukim di Mekah atau Madinah. Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan dinamika da’wah para sahabat terpanggil untuk menyebarkan islam ke berbagai pelosok negeri. Ada sahabat yang pergi ke negeri Basrah seperti Abu Mûsâ Al Asy’ary. Ada yang ke Kufah seperti Ibnu Mas’ûd. Ada yang pergi ke Syam seperti Abû Darda’, dan lain sebagainya. Para sahabat tersebut mengajarkan al-Qur’an kepada para tabi’in sesuai dengan bacaan yang mereka terima dari Nabi.
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli Qira’at
Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar akhir abad pertama sampai awal abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at berlangsung sedemikian lama, maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90 H) yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis qira’at.
Tiga fase di atas telah di bahas pada makalah sebelumnya (Qira’at pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in).
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
1. ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3. Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
4. Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
5. Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
6. Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
7. Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
8. ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
9. ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
10. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
11. Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.
Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at Sab’ah
Pada peringkat awal pembukuan ilmu qira’ at yang dirintis oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di atas, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qira’at yang banyak ke dalam karangan-karangannya. Barulah pada permulaan abad kedua Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan beberapa imam yang mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154 H) dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156 H) dan ‘Âsim (w. 127 H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di Mekah mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w. 120 H), dan di Madinah memilih qira’at Nâfi’ (w. 199 H).
Di penghujung abad ketiga Hijrah, barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at tersebut di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H), salah seorang ahli qira’at dari Kufah, dan membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’ tersebut. Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul sebutan Qira’at Sab’ah.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qira’at saja yang masyhur padahal masih banyak imam-imam qira’at lain yang kedudukannya setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qira’at mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qira’at yang sesuai dengan khat mushaf yang mudah dihafal dan mudah menurut bacaan al-Qur’an. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa di antara ahli qira’at itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qira’at dan adanya kesepakatan untuk diambil serta dikembangkan qira’atnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam, tanpa mengabaikan periwayat selain tujuh imam qira’at tersebut, seperti qira’at Ya’qûb, Abû Ja’far, Syaibah dan lain-lain.
Kehadiran istilah Qira’at Sab’ah telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama. Para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa qira’at sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibn Khawalaih, Ibn Zanjalah, Makki Ibn Abi Tâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.

Fase keenam: Fase Pengukuhan Qira’at Sab’ah
Fase ini berlangsung setelah kemunculan kitab Al-Sab’ah karya Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting dalam sejarah penulisan ilmu qira’at. Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan ilmu qira’at pada masa sebelum Ibn Mujahid bisa dikatakan tidak selektif tapi lebih kepada penulisan qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru mereka. Karena itu ulama yang pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya imam tujuh tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu tercantum dalam kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah Qira’at Sab’ah menjadi semakin kokoh dan masyhur dengan munculnya kitab At Taisir karya Abû ‘Amr al-Dâni (w. 444 H). Yang menonjol dari kitab ini adalah penyederhanaan rawi dari setiap imam dengan hanya dua perawi, padahal sebagaimana di ketahui bahwa perawi setiap imam biasanya berjumlah puluhan bahkan ratusan.
Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2. Qumbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn Katsîr
3. Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn ‘Âmir
5. Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim
6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Penyederhanaan rawi ini sangat bermanfaat untuk memudahkan mempelajari ilmu qira’at , apalagi para perawi yang terpilih telah di akui kredibilitasnya dalam bidang qira’at oleh para ulama sezamannya.
Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah kemunculan imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâtibiyyah”. Syair-syair Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâtibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazam al-Syâtibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâtibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazam ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu qira’at.

B. PERKEMBANGAN QIRAAT SAB’AH DI INDONESIA
Tidak di ketahui secara persis kapan qira’at sab’ah mulai masuk ke Indonesia. Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa qira’at sab’ah masuk ke Indonesia baru pada sekitar awal abad kedua puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat di Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah Rasyid dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qiraat dari Hijaz. Kemudian sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira’at ini kepada murid-muridnya. Salah satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari Kudus, yang kemudian menyusun buku tentang qiraat sab’ah yaitu “Faid al-Barâkât fî Sab’i Qirâ’ât”. Buku ini telah masyhur di kalangan pesantren-pesantren Indonesia yang mempelajari Qira’at Sab’ah.
Kemudian para periode berikutnya , yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) dan IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an) yang khusus mengajarkan ‘Ulumul Qur’an, termasuk di dalamnya ilmu Qira’at , Ilmu Qira’at semakin masyhur di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya tanggal 2 Maret 1983 memutuskan bahwa:
1. Qiraat Sab’ah adalah sebagian ilmu dari ‘Ulumul Qur’an yang wajib di kembangkan dan di pertahankan eksistensinya.
2. Pembacaan Qira’at Tujuh di lalukan pada tempat-tempat yang wajar oleh pembaca yang berijazah (yang telah talaqqi dan musyâfahah dari ahli qira’at).
Pada periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira’at dalam bahasa Indonesia, yaitu “KAIDAH QIRAAT TUJUH” yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan PTIQ, yaitu DR. H. Ahmad Fathoni. Kitab ini sangat membantu memudahkan masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab dalam belajar ilmu qira’at.
Ilmu qira’at semakin banyak diminati untuk dipelajari oleh masyarakat indonesia setelah pada tahun 2001 Menteri Agama Indonesia Prof.Dr. Said Aqil Al Munawwar membuat satu kebijakan yang baik dan strategis untuk memasyarakatkan ilmu qira’at dengan mengeluarkan SK yang mengikut sertakan cabang Qira’at dalam MTQ dan STQ di Indonesia. Maka pada STQN 2002 di Mataram cabang ini sudah mulai di lombakan. Dan terus berjalan sampai sekarang.

C. Macam-macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya
Ibn Mujâhid sebagai tokoh negara serta salah seorang pakar keagamaan memiliki pengaruh besar atas berlangsungnya keragaman bacaan. Ibn Mujâhid mencoba menetapkan standarisasi baru disahkannya sebuah qira’at. Kemudian lahirlah tujuh qira’at yang terbagi menjadi tujuh imam plus dua perawi di antara satu imam. Satu klaim bahwa bacaan sah adalah ajaran dari riwayat yang bersumber dari guru dengan persetujuan ulama-ulama lain serta memiliki kredibilitas (tsiqah) diakui. Konsep ini pada dasarnya menguatkan tiga syarat utama atau kaidah qira’at yang sahîh, yaitu :
1. Qira’at itu harus sahîh sanadnya, yaitu bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw.
2. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah Bahasa Arab. Syarat ini tidak berlaku sepenuhnya sebab ada sebagian bacaan yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun karena sanadnya sahîh dan mutawâtir maka qira’atnya dianggap sahîh.
3. Qira’at sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmâni yang dikirimkan ke daerah-daerah, karena ia mencakupi Sab’atu Ahruf.
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:
1. Mutawâtir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw. Para ulama maupun para ahli hukum Islam sepakat bahwa qira’at yang berkedudukan mutawâtir adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai qira’at al-Qur’an. Ia sah dibaca di dalam maupun di luar salat. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawâtir.
2. Masyhûr, yaitu qira’at yang sahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at dan tidak terdapat cacat. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at semacam ini boleh dipakai atau digunakan. Contoh qira’at masyhûr adalah qira’at yang dipopulerkan oleh Abû Ja’far bin Qa’qa’ dan Ya’qûb al-Hadrami, yaitu lafaz siqâyata dibaca suqâta dan lafaz ‘imârata dibaca ‘amarata, yang kedua bacaan ini terdapat dalam surat al-Tawbah ayat 19.
3. Âhâd, yaitu qira’at yang sahîh sanadnya tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira’at yang telah disebutkan. Qira’at semacam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abû Bakrah bahwa Nabi membaca rafârifa dan ‘abâqariya dalam surat al-Rahmân ayat 76.
4. Syâdz, yaitu qira’at yang tidak sahîh sanadnya, seperti qira’at malaka yaumaddîn (al-Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi’il mâdi dan menasabkan yauma.
5. Mawdû’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira’at imam Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâtir ayat 28:


Dia membaca dengan:


Yaitu dengan merafa’kan lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-‘Ulamâ’.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibn ‘Abbâs:



Kalimat adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.
Keempat macam qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Demikianlah uraian ringkas tentang macam-macam qira’at, sehingga dengan demilian seorang ahli qira’at di samping hafal bermacam-macam qira’at, dituntut juga agar mampu membuktikan kebenaran qira’atnya.

D. Nama-nama Kitab Qira’at dan Spesifikasinya
13. JAMÂL AL-QURRÂ’ WA KAMÂL AL-IQRA’
Nama Pengarang : Imam Abû Hasan ‘Alî bin Muhammad bin ‘Abdussomad al- Sakhowi ( 559 H- 643 H).
Beliau Adalah salah satu murid dari Imam Al-Syâtibi, dan merupakan orang pertama yang menulis kitab syarah Nazam Al-Syâtibi.
Ta’rif Kitab: Kitab ini membahas tentang semua aspek dalam ilmu Qira’at, termasuk juga membahas tentang ilmu al-Qur’an, Dalam penulisannya, penulis telah membaginya dalam sepuluh bab pembahasan. Di setiap pembahasan musonnif (pengarang/penulis) juga menyertakan para perawi yang beliau nukil, menyertakan perbedaan para ulama lalu mentarjih menurut pendapat beliau.
Kitab ini pertama kali di terbitkan oleh Al-Madâni di Mesir pada tahun 1408 H, terdiri atas dua jilid.

14. AL-MURSYID AL-WAJÎZ ILÂ ‘ULÛM TATA’ALAQ BI AL-KITÂB AL-‘AZÎZ
Nama Pengarang: ‘Abdurrahmân bin Ismâ’îl bin Ibrâhîm Abû al-Qasim al-Miqdasy ( 599 H-665 H)
Beliau adalah murid Imam al-Sakhawi. Beliau telah banyak mengarang buku tentang ilmu keislaman, termasuk syarah nazam al-Syâtibiyyah yaitu kitab yang cukup masyhur (Ibraz Al-Maani min Hirz al-Amâni fî al-Qirâ’ât al-Sab’), juga dikenal sebagai ulama besar dalam bidang hadis.
Ta’rif Kitab: Sebagaimana yang musannif tuliskan dalam muqaddimah kitab ini, beliau mengatakan bahwa kitab ini sangat bermanfaaat bagi ahlul Qur’an, terutama bagi yang ingin mendalami qira’at sab’ah. Penyebutan nama Qira’at Sab’ah bukanlah yang di maksud dengan hadis Rasulullah :
انزل القران على سبعة احرف
tetapi di maksudkan untuk memberi batasan antara qira’at yang mutawâtir dan Syâdz. Kitab ini membahas tentang kaidah-kaidah ilmu qira’at secara rinci.
Kitab ini pertama kali di terbitkan oleh Dâr Sâdir di Beirut tahun 1395 H.

15. MA’RIFAH AL-QURRÂ’ AL-KUBAR ‘ALÂ THABAQAT WA AL-‘ASAR
Nama pengarang: Muhammad bin Ahmad bin Utsmân Abû ‘Abdillâh al-Zahabi (673 H- 740 H)
Beliau adalah seorang ulama besar yang sangat alim dalam bidang ilmu al-Qur’an dan juga ilmu rijâl al-Hadîts. Maka pantaslah jika para ulama memberi gelar beliau dengan sebutan Al-Hâfiz Ustâdz Tsiqah Kabîr. Dalam bidang ilmu qira’at beliau telah mengarang dua kitab yaitu Al-Talwijat fî ‘Ilm al-Qira’at dan Ma’rifah Al Qurrâ’.
Ta’rif Kitab: Kitab ini di susun oleh musannif berdasarkan tabaqat, mulai dari Tabaqat Sahabat sampai tabaqat perawi pada masanya, yang terdiri dari 18 tabaqat.
Kitab ini di cetak pertama kali di Kairo pada tahun 1967 M.

16. GHÂYAH AL-NIHÂYAH FÎ TABAQAH AL-QURRÂ’
Nama Pengarang: Syams al-Dîn Abû al-Khair Muhammad bin Muhammad bin Al Jazary (751 H-833 H)
Beliau adalah seorang ulama besar dalam bidang qira’at pada zamannya.
Ta’rif Kitab: Kitab ini di susun berdasarkan Tabaqat dan merupakan kumpulan dari dua kitab Al-Hâfiz Abû ‘Amr al-Dâni serta Abû ‘Abdillah al-Zahabi, dan menambahka pembahasan yang sekiranya perlu.
Dalam penulisannya, musannif memakai rumus-rumus untuk mengetahui darimana pembahasan itu beliau nukil. Rumus-Rumus itu adalah: Jika di peroleh dari Kitab Al-Nasr maka memakai rumus ( ن ), Al-Taisir dengan ( ت ), Jami’ Al-Bayân Li al-Dâni dengan (ج), Al-Kâmil Li Al-Hazly memakai rumus (ك ), Al-Mabhaj dengan rumus( مب), Al-Mustanir dengan ( س), Al-Kifâyah al-Kubrâ Li al-Qalanisi dengan( ف ), Al-Ghâyah Li Abî al-‘Ala ( غ ), dan untuk jama’ah maka memakai rumus ( ع ).
Kitab ini di cetak pertama kali pada tahun 1351 H.

17. TAYYIBAH Al-NASYR FÎ AL-QIRÂ’ÂT AL-‘ASYR
Nama pengarang: Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Jazary (751 H- 833 H ).
Ta’rif Kitab: kitab ini di tulis dengan nazam (syair-syair), yang konsentrasi pada qira’at sepuluh, terdiri dari 1000 bait syair. Al-Syâtibi dan kitab Al-Taisir merupakan kitab rujukan utama dalam penulisan kitab yang berisi nazam ini. Kemudian musannif menambahkan turuq dan perawi perawi qira’at. Nazam ini telah di syarah oleh Abû Al-Qasi Al-Nauyary, dan kitab syarahnya di cetak pertama kali pada tahun 1406 H.

18. Kitab Latâ’if al-Isyârât Lifunûn al-Qirâ’ât
Nama pengarang: Al-Hâfiz Syihâb al-Dîn Abû al-‘Abbâs Ahmad bin Muhammad bin Abî Bakar bin ‘Abd al-Malik bin Ahmad bin Muhammad bin Husain bin ‘Alî al-Qistalânî al-Misrî (851 H-923 H).


BAB III
PENUTUP

Sejarah mencatat bahwa Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm, Abû Ja’far al-Tabari dan Ismâ-îl al-Qâdi adalah termasuk di antara para ulama qira’at yang mula-mula merintis pembukuan Ilmu Qira’at al-Qur’an. Melalui pembukuan tersebut, para ulama qira’at berikutnya dapat membuat kajian ilmu qira’at lebih jauh lagi. Di antara mereka ada yang menyusunnya dalam bentuk prosa dan ada pula yang berbentuk syair agar mudah dihafal. Ulama yang terlibat langsung dalam usaha tersebut di antaranya ialah imam al-Dâni dan al-Syâtibi.
Pada masa ini, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Baru di penghujung abad ketiga Hijrah, Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at, yakni Nâfi, Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Ibn ‘Âmir, ‘Âsim, Hamzah, dan al-Kisâ’i.
Ada tiga syarat utama tentang penerimaan qira’at, yaitu: bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw., sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu rasam Utsmâni. Dengan demikian maka muncullah macam-macam qira’at, yang terdiri dari qira’at mutawâtir, masyhur, âhâd, syâdz, mawdû’ dan mudraj. Untuk empat macam qira’at yang disebutkan terakhir, tidak boleh diamalkan bacaannya.









DAFTAR PUSTAKA


Fathoni, Ahmad, DR. H. Kaidah Qira’at Tujuh. Jakarta: ISIQ, 1992.

Ismâ’îl, Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli, DR. ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Atwâruhu, Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah. Riyâd: Maktabah al-Tawbah, 2000.

Al-Khayyât, Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris. Al-Tabsirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.

Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret 2002.

Masyhuri, Ismail, Al-Hafiz. Ilmu Qira’atul Qur’an: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh. Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.

Al-Qattân, Mannâ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Drs. Mudzakir AS, cet. V. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2000.

Al-Rûmi, Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân. Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet. XIII. Riyâd: T.pn., 2004.

Al-Siddieqy, T. M. Hasby. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Al-Suyûtî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1988.

Teori Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Kawasan Asia Tenggara sejak awal Masehi telah berfungsi sebagai jalur lintas perdagangan bagi kawasan sekitarnya, Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan Asia Selatan, hubungan pelayaran antar benua terus berlanjut ke Barat sebelum akhirnya mencapai Eropa. Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia Tenggara pada abad-abad berikutnya, ketika perdagangan memasuki era “globalisasi” di abad ke-5, menjadi lebih ramai dengan hadirnya berbagai pedagang dan pelaut yang biasa berlayar melalui wilayah tersebut. Sebagai dampak dari hubungan antar bangsa ini, beberapa Bandar/pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berubah fungsi menjadi Bandar regional. Wilayah barat Indonesia dan sekitar Malaka merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 Masehi sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatra, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Dampak lain dari komunikasi internasional ini adalah masuknya pengaruh tradisi besar ke Indonesia, mulai Hindu-Budha pada abad ke-1-5 M, kemudian Islam pada abad ke-7-13 M, dan Eropa sejalan dengan kolonialisme di Indonesia. Masuknya tradisi Hindu-Budha, dilihat dari aspek kebudayaan, telah membawa dampak yang sangat besar. Hindu-Budha menjadi agama yang dianut masyarakat setempat, yang disusul dengan kehadiran bangunan-bangunan keagamaan untuk masyarakat penganut agama tersebut. Beberapa daerah di kawasan ini kemudian menjadi basis perkembangan Hindu-Budha, bahkan hinggga sekarang ini, seperti di Jawa dan Bali.
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia yang berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu daripada Islam.
Kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir tekena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa. Terutama dengan pedagang muslim, mereka (pedagang kecil) perlahan-lahan mengetahui apa itu Islam dan bagaiman ajarannya. Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup (konservatif) dari budaya luar. Mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyangnya dan sulit menerima kebudayaan dari luar.
Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman.
Masuknya Islam masih terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Kedua kerajaan ini merupakan kerajaan besar Hindu Budha yang akhir di Nusantara ini.






BAB II
PEMBAHASAN


Islam di Indonesia baik secara historis maupun sosiologis sangat kompleks, terdapat banyak masalah, misalnya tentang sejarah dan perkembangan awal Islam. Oleh karena itu, para sarjana sering berbeda pendapat. Harus diakui bahwa penulisan sejarah Indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering ada usaha untuk meminimalisasi peran Islam, di samping usaha para sarjana Muslim yang ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, ramah, dan toleran. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para da’i dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu saja. Tidak ada catatan sejarah atau prasasti pribadi yang sengaja dibuat oleh mereka untuk mengabadikan peran mereka, ditambah lagi wilayah Indonesia yang sangat luas dengan perbedaan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, wajar jika terjadi perbedaan pendapat tentang kapan, dari mana, dan di mana pertama kali Islam datang ke Indonesia.
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Indonesia. Teori-teori tersebut mencoba memberikan jawaban atas permasalahan tentang masuknya Islam ke Indonesia, dengan perbedaan pendapat mengenai waktu masuknya agama Islam, asal negara yang menjadi perantara atau sumber tempat pengambilan ajaran Islam, dan pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Indonesia.
Untuk dapat mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan teori-teori itu, di sini akan dibahas secara sederhana sebagai berikut:
Pertama: Teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M.
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Pijnapel, seorang sarjana dari Universitas Leiden, pada tahun 1872. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Marcopolo yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1292 M dan Ibnu Battuta yang mengunjungi Pasai pada tahun 1345 M, ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara, Indonesia khususnya. Dia mendukung teorinya ini dengan menyatakan bahwa melalui perdagangan, sangat mungkin adanya hubungan antara kedua wilayah ini.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Christian Snouck Hurgronje. Snouck lebih menitikberatkan pandangannya berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Kedua, hubungan dagang sudah terjalin lama antara Indonesia dengan India. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra pada abad 13 M, yakni adanya makam atau batu nisan Sultan pertama Kerajaan Samudra Pasai, Sultan Malik al-Saleh. Pada makam itu tertulis bahwa ia wafat pada Ramadhan 696 H/ 1297 M.
Teori Snouck ini lebih lanjut dikembangkan oleh Morrison pada 1951. Dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam dating ke Nusantara. Ia menunjuk pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara.
Di Indonesia, pendapat ini diusung oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13 M dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai. Fokus pandangannya tentang masuknya agama Islam ke Indonesia berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar (fathah), jer dari ze-er (kasrah) dan beberapa yang lainnya.
Dari beberapa argumen yang dikemukakan di atas, mereka terlihat Hindu Sentris, karena beranggapan bahwa seluruh perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama di Indonesia tidak mungkin terlepas dari pengaruh India.
Kedua: Teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/ I H.
Teori ini dikemukakan Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab. Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i, sama seperti yang dianut kaum muslimin di Indonesia umumnya. Teori ini juga dianut oleh Niemann dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai sumber datangnya Islam, sebab muslim Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafi’i seperti juga kaum muslimin di Indonesia. Sedangkan Veth hanya menyebut “orang-orang Arab”, tanpa menunjuk asal mereka di Timur Tengah maupun kaitannya (kalau ada) dengan Hadramaut, Mesir atau India.
Teori ini juga diajukan oleh Hamka sebagai koreksi dan kritik terhadap teori lama, yaitu teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Koreksinya ini disampaikan dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta, pada 1958. Kemudian dikuatkan dengan sanggahannya dalam seminar Sejarah Masuknya agama Islam ke Indonesia, di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, karena di Indonesia pada abad ke-13 telah berdiri kekuasaan politik Islam.Jadi masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7. Hamka juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa orang-orang yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia adalah berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan pandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Hal ini ia kemukakan berdasarkan bukti adanya jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional pada abad ke-7 M melalui selat Malaka. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Indonesia dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat, yang melakukan hubungan langsung dagang dengan Malaka pada waktu itu. Lebih ke Barat lagi dari Gujarat, perjalanan melalui laut melintasi Laut Arab. Dari sana perjalanan bercabang dua: jalan pertama di sebelah utara menuju Teluk Oman, melalui Selat Ormuz, ke Teluk Persia. Jalan kedua melalui teluk Aden dan Laut Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke Kairo dan Iskandariah. Melalui jalur pelayaran tersebut, kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Cina dengan menggunakan angin musim unruk pelayaran pulang perginya. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian Barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan Kerajaan Cina zaman Dinasti T’ang di Asia bagian timur serta Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Pendapat Hamka di atas dikukuhkan lagi dalam seminar Sejarah Islam di Banda aceh pada 1978. Dalam kesimpulan akhir seminar yang disusun oleh Prof. Ali Hasyimi, disebutkan bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah, langsung dari Arab. Selanjutnya seminar juga berpendapat bahwa daerah yang pertama kali masuk dan menerima Islam di Indonesia adalah Aceh dan Kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak. Pendapat A. Hasyimi ini berdasarkan informasi dari sumber kepustakaan berbahasa Arab, kitab Izhar al-Haqq fi Mamlaka Ferlaq wa Fasi, yang datanya ia peroleh dari H. Junus Djamil. Menurut Junus Djamil, kitab ini dikarang oleh Abu Isaq Makarani al-Fasi setebal dua ratus halaman dan terdapat nama angka tahun tertua Kerajaan Perlak, 255 H/ 840 M. Kitab ini juga memuat daftar silsilah Sultan Perlak. Jadi terdapat keterangan dari berbagai sumber tertulis tentang kehadiran kesultanan Islam di Sumatra pada abad ke-3-5 H. namun belum dapat diperoleh data perbandingan dengan bukti tulisan-tulisan pada makam kuno. Makam kuno di Sumatra yang beerangka tahun tertua berasal dari abad ke-7 H/ 13 M. Adapun di Jawa, bukti tertua terdapat di Leran, Gresik, Jawa Timur, berupa komplek pemakaman Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang muslimah bernama Fatimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H/ 1082 M, yaitu pada zaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Menurut catatan sejarawan Cina, bangsa Arab sudah mendarat di pesisir pantai Sumatra sebelum lahirnya Islam. Dari hasil-hasil barang galian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia telah ditemukan tiga ribu tulisan pada batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian diukir dengan huruf himyar dan sebagian lainnya ditulis dalam bentuk syair Arab pada batu-batu nisan dan lain-lain dengan mencantumkan tahun Hijrahnya. Kini sudah dilakukan penelitian intensif oleh beberapa sejarawan Indonesia. Hasil penelitian itu menyatakan adanya para pedagang Arab di Sumatra Utara atau lebih tepatnya di Aceh, sebelum lahirnya Islam. Para sejarawan Indonesia itu antara lain adalah Najib Alatas, Qaddarallah al-Fathimi dan Muhammad Husein Nania.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r.a.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Ta-Cheh), sebutan untuk orang Arab, pada tahun 651 M atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang dua puluh tahun setelah Rasulullah wafat (632 M). Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 Masehi.
Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.
Ketiga: Teori yang mengkompromikan kedua teori atau pendapat di atas. Menurut teori ini, Islam memang benar sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-7 M, tetapi baru berkembang pada abad ke-13 M.
Teori yang ketiga ini dianut oleh J.C. van Leur. Ia menyatakan bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatra telah terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M dan 626 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikkan ajaran agama Islam. Dari keterangan ini, masuknya Islam ke Indonesia tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat perkembangan agama Islam, sebagai akibat adanya perubahan jalan laut perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda berubah melewati selat Malaka. Perubahan ini mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan Islam di Selat Malaka. Perluasan lebih lanjut dipengaruhi oleh adanya perubahan politik di India, yaitu runtuhnya kekuasaan Brahmana yang diikuti dengan timbulnya kekuasaan politik Mongol (1526) dan jatuhnya Kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik ini memberi peluang kepada agama Islam untuk mengembangkan pengaruhnya di Indonesia.
Meskipun pendapat J.C. van Leur ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan sebelumnya, namun ia tidak dapat melepaskan pandangannya dari pengaruh Gujarat tentang masuknya agama Islam ke Indonesia, mengikuti pendapat Snouck Hurgronje. Selain perbedaan waktu, ia juga mengakui adanya peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam.
Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah juga mendukung teori ini. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-7 M, tapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad, ibukota Abbasiyah, oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktifitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.




BAB III
KESIMPULAN


Muslim Indonesia punya sejarah luar biasa. Sahabat Rasulullah, pernah pula langsung berdakwah di Nusantara. Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Secara garis besar perbedaan teori itu dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
Pertama: Teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M. Teori ini dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, seperti Pijnapel, Snouck Hurgronje, dan Morrison. Menurut mereka, Islam datang ke Indonesia bukan dari Arab langsung melainkan dari Gujarat. Adapun di Indonesia, pendapat ini diusung oleh Hoesein Djajadiningrat. Namun berbeda dengan para sarjana barat, ia mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Persia.
Kedua: Teori yang mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 M dan berasal langsung dari Arab. Teori ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Niemann, De Hollander, Veth, dan para sarjana Muslim, seperti Hamka dan A. Hasymy.
Ketiga: Teori yang mengkompromikan kedua teori di atas, yaitu memang benar Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M, namun baru berkembang secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 M. Teori ini dianut oleh J.C. van Leur dan Taufik Abdullah.







DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Taufik. Sejarah Umat Islam Indonesia. Majelis Ulama Indonesia, 1991.

al-Alusi, Adil Muhyiddin, Dr. Al-‘Urûbah wa al-Islâm fi Janûb Syarqî Asia: Al-Hind wa Indonesia. Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press, 1992

Ambary, Hasan Muarif, Prof. Dr. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

Azra, Azyumardi, Prof. DR. M.A. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.

Badawi, Abdurrahman. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terjemahan Amroeni Drajat, cet.II. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Hamka, Prof. Dr. Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional, 2001.

Sunanto, Musyrifah, Prof. Dr. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Supriyadi, Dedi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995,

Tim Penulis. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA, 2007.

www.swaramuslim.net. “Sejarah Islam Nusantara”, diakses pada 28 Desember 2009

Yatim, Badri, Dr. M.A. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.








Perkenalan


Ass.kum... Nama saya Mutmainnah Mahasiswi Pasca Sarjana di Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.